“Bapak Kiai wafat, pukul 06.55”. Pesan singkat itu terkabar lewat akun twitter. Kemudian bersambutan kabar lewat dering telepon, facebook dan tangisan. Hanya satu tahun sejak saya pamit untuk berangkat ke Kairo, Mesir, beliau sudah terburu pergi untuk tenang. Tapi saya merasakan kepedihan seperti ombak yang dihasut angin untuk berdebur. Tak ada batasnya, tak ada ruang untuk berhenti.
Beliau tidak hanya terkenang, tetapi seperti pertunjukan. Ingatan-ingatan berhamburan. Dari bunyi kenalpot sepeda motor Bravo yang khas membangunkan kami untuk qiyamul lail sedari jam dua malam tiba. Sajadah merah atau hijau, dan tempat shalat di samping kiri bagian depan, hingga saat-saat saya benar-benar intens berdialog tentang hidup, tentang jodoh, tentang apa yang dimaksud merdeka.
Saya bertemu dengan beliau pada Juni 2002. Waktu itu saya baru mendaftar sebagai santri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Pertemuan antara seorang kiai besar dengan kami yang lucu-lucu. Saya ingat senyum beliau yang tipis-tipis itu, kata-kata yang tulus penuh hikmah, dan sesekali menyebut nama kami satu-persatu seperti seorang ayah kepada anaknya.
K.H. Muhammad Idris Jauhari menjadi sosok guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan saya. Tidak hanya karena sejarah mencatat, perjuangannya dimulai sejak beliau berumur 19. Namun juga, karena keaktifan beliau membina dan memberi petuah-petuah yang praktis.
Sejak selesai dari Pondok Modern Gontor, beliau berjuang. Beliau tidak lagi hidup seperti kawan-kawannya yang lain, mengembara atau menikmati masa muda dengan segala kebebasan dan kegembiraan. Beliau lebih memilih jalan lain, jalan pengabdian, memperjuangkan masa muda dan mencerdaskan anak bangsa. Barangkali itu sebabnya, beliau sangat tahu cara menghadapi setiap santrinya yang bermasalah. Dari santri yang harus digenggam dengan pengawasan yang sangat erat, hingga yang dilepas degan untaian doa-doa.
Beliau seperti dikelilingi kebahagiaan hanya jika mengabdi, mengurusi santri, dan akhirnya mengorbankan yang beliau miliki. Termasuk kesehatan.
Dan kami terus saja membuat masalah. Merokok di kamar mandi, kabur dari pondok, atau tidak ikut shalat jamaah. Seperti tak tahu setiap yang bergerak akan aus. Kami tidak sadar, bahwa dengan itu, sedikit demi sedikit pikiran pak kiai semakin penuh. Akibatnya, stabilitas kesehatan beliau menurun.
Tetapi semangat pengabdian beliau adalah satu-satunya yang bergerak tanpa pernah aus. Bagi beliau, eksistensi seseorang terlihat dari dedikasinya.
“Saya lebih bangga pada alumni yang menjadi pemimpin pondok kecil atau guru ngaji daripada alumni yang menjadi pejabat.” Demikian yang sering saya dengar dari beliau. Bahkan, setiap kali acara wisuda, beliau selalu menyelipkan kalimat ini: “Apa pun profesimu, kamu harus berjiwa guru dan pemimpin”.
Itu mungkin sebabnya beliau mengabdi sejak usia dini. Beliau memilih jalan-jalan sempit nan tenang, yang mengantarkan pejalan kaki sampai lebih selamat. “Luruskan niat, bersyukur, bershalawat, dan berterimakasihlah kepada siapa saja yang sudah mengajari kita,” lanjutnya.
Saya tidak bisa membayangkan, seorang muda yang cerdas, hanya menghabiskan waktu dengan pengabdian di tanah tembakau yang kering, sementara di waktu luang belajar secara otodidak. Tidak ada ambisi untuk meraih gelar master, doktor dan predikat-predikat lainnya. Bagi beliau, “Gelar doktor tidak lagi dibutuhkan oleh orang setua saya”. Kesuksesan beliau dalam belajar secara otodidak inilah, yang dicatat oleh Zamhari dalam buku Belajar Otodidak Sampai Mati.
Ah, mengingat itu semua, adalah seperti menyusun puzzle yang kemudian berubah jadi wayang dan film sejarah yang mengagumkan. Sementara kami teriris-iris sendiri oleh khilaf dan duka, oleh kebodohan dan kesombongan.
Lalu petuah-petuah seperti ini, “Saya tidak menyuruh kalian untuk berzikir lama-lama. Tetapi di mana pun dan dalam keadaan apa pun kamu, shalatlah pada waktunya dengan berjamaah, membaca Al-Quran walau satu ayat, dan jangan lupa, fi ayyi makanin kana anta santriyun” (di mana pun kamu berada, kamu adalah santri) seperti menjadi background dalam pewayangan itu. Kata santriyun mungkin tidak ada dalam indeks kamus bahasa Arab, tapi beliau mengartikan itu sebagai bentuk moral seorang penuntut ilmu di pesantren. Moral sebagai orang yang toro’ ocak ka reng toah (patuh kepada orangtua), memiliki niat yang lurus, beribadah dan bermanfaat.
Begitu yang sering kami dengarkan setiap malam menjelang tidur sambil menahan rasa kantuk, atau pada Jumat pagi ba’da shalat Shubuh, serta teladan dalam praktik yang sama dengan penuh tawadu dan istiqamah.
Tahun 2006 saya lulus dari pondok, kemudian mengabdi di almamater. Saat itulah saya banyak menimba ilmu dari beliau secara lebih dekat tentang banyak hal. Tentang jodoh dan hari-hari yang menggelisahkan. Itulah ketika saya harus menerima ungkapan “mak jhu kemmi?” (kok kayak orang kebelet?).
Masa itu bagi saya adalah masa galau. Pikiran-pikiran berkeliaran ke dalam ruang-ruang yang tak tercapai. “Apa yang membuatmu tenang dan lebih dekat dengan Allah, itulah yang baik.” Kata-kata itu yang membuat saya mantap untuk mendapatkan istri yang baik. Waktu itu, Kiai Idris sama sekali tidak menghakimi, apalagi mencemooh. Masalah jhu kemmi (kebelet) karena terburu-buru menikah, saya rasa beliau hanya bergurau, dan itu yang membuat saya berpikir lebih panjang dan ingin sampai pada pembuktian.
Mula-mula, beliau tidak begitu mengenal saya, kecuali ketika ada urusan kesekretariatan yang tak beres, atau saat musyawarah pimpinan untuk menjadi notulis. Beliau hanya mengenal saya sebagai salah seorang sekretaris pondok.
Dan perlombaanlah yang mendekatkan saya. Berkali-kali saya mendapat undangan penyerahan hadiah lomba, berkali-kali pula saya meminta izin untuk keluar pondok sekaligus meminta restu. Tidak bisa saya pungkiri, ketika mencium tangan beliau, seperti ada rasa lain yang menghambur. Seperti ada langit yang menurunkan embun-embun pada daun, dan rasa lega yang luar biasa. Ya, seperti mendapat dukungan alam semesta.
“Jangan lupa, nama baik pondok ada dalam sikap kamu, kubah Al-Amien ada di atas pundak kamu,” dan saya tersentuh oleh kalimat itu, seperti seorang pengantin pria yang diserahi seorang perawan solehah. Sejak itu, saya selalu bisa menangis jika berhadap-hadapan, atau menatap gambar beliau yang kharismatik beraut tenang.
Saya terus bergairah menulis, tidak hanya karena ingin lebih baik, tetapi amanah, dukungan, dan kepercayaan beliau terus menderas dalam semangat saya. Saya akan terus menulis pagi, siang dan malam, jika pun beliau menyuruh itu.
Tetapi ya, semangat adalah rasa cinta juga. Kadang tumbuh dan berkembang, kadang layu dan menunggu gugur. Jika semangat saya sudah tak bisa diandalkan, semisal darah pada musim dingin. Saya akan mendatangi beliau pada musim Shubuh. Biasanya tepat setelah zikir shalat Shubuh, saya segera menunggu di teras rumah beliau, untuk sekedar mencium tangan beliau lalu mendengar pesan atau beliau.
Itulah istimewanya, beliau adalah seorang guru yang menempatkan murid sebagai sejawat, yang tidak perlu digurui, tapi disadarkan.
“Ada apa?” tanya beliau sambil menarik kopiah putihnya ke belakang. Saya kaku, sebab saya sering susah mengutarakan sesuatu kepada orang yang saya kagumi.
“Saya terlalu banyak dosa, Pak Kiai,” jawabku. Itu tentu bukan apa yang ingin saya ucapkan. Tetapi itulah yang saya rasakan dan terucap.
“Berpikir punya dosa itu bagus!”
Saya menunduk. Saya takut itu ironi.
“Kamu berarti sadar. Orang sadar, memiliki peluang untuk baik. Sadar itu sudah potensi, tetapi potensi saja tidak cukup. Kamu harus berusaha untuk menjadikan diri kamu lebih baik.”
“Saya selalu takut, Pak Kiai.”
“Kok takut? Susah kalau kamu takut. Saat kamu jalan, kamu tidak takut kan kalau suatu saat akan jatuh? Nah hidup juga seperti itu. Niatkan yang baik, berjalan di jalan yang benar, kalau jatuh atau salah jalan, ya bangun dan cari jalan yang lebih baik. Kamu bersyukur masih bisa sadar, tapi kesadaran itu bisa hilang jika tidak dimanfaatkan untuk berbuat.”
Saya benar-benar menangis saat mendengar itu. Padahal saya selalu takut ditanyakan tentang dosa-dosa saya, apa pelanggaran yang saya lakukan di pondok, atau beliau akan marah karena saya melakukan kesalahan-kesalahan itu.
Dan saya benar-benar menemukan guru yang bisa membuat saya berubah dari seorang yang tertutup menjadi lebih terbuka, terbuka juga terhadap kemungkinan-kemungkinan.
Kesederhanaanlah yang membuat saya menaruh hormat lebih kepada beliau. Beliau, dan kiai-kiai kami yang lain, berpenampilan sama seperti ustaz-ustaz lain yang ada. Memakai baju koko, sarung, kopiah putih, kadang hitam, sajadah, dan senter saat waktu subuh dan petang.
Beliau adalah guru yang intens mengajarkan kami cara hidup sebagai manusia. Pelajaran hidup dari hal-hal kecil, cara berjalan dengan tidak menyeret sandal, tidak mengambil barang-barang syubhat. Bahkan sabun mandi yang ada di dalam selokan sekalipun, kami tidak boleh mengambilnya. Beliau yang mengajari kami tata cara bersikap yang baik, dengan penjabaran Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah.
Tahun 2010, beliau terbaring sakit yang kesekian kalinya. Ini yang paling parah, beliau komplikasi. Beliau terus menangis saat melihat kami. “Saya hanya berdoa, ya Allah matikanlah saya, jika saya tidak bermanfaat lagi bagi orang lain. Tetapi jika sebaliknya, saya memohon kesembuhan.” Kata-kata itu keluar dari beliau seperti hendak pergi, sementara kami menampung rasa sedih yang demikian penuh.
Kami masih belum bisa secara istiqamah melakukan shalat jamaah, belum melakukan pengabdian yang baik, dan belum juga berbuat dengan niat yang tulus, seperti yang beliau pesankan hampir di setiap ceramah beliau. Padahal sering beliau katakan, “Citra pondok dan almamater ini selanjutnya benar-benar dipertaruhkan di atas pundak kalian.”
Saat itu, saya memeluk dan mencium beliau dengan tangis yang berurai.
“Terimakasih, Nak, atas doa-doa tulusmu.”
Saya menangis, lebih perih lagi. Sangat jarang saya mendengar ucapan syukur itu dari orang-orang yang berada di ketinggian derajat, tetapi bapak kiai dengan mudahnya mengucapkan itu kepada kami, murid-muridnya yang sering nakal dan tak patuh aturan.
Alhamdulillah, beliau sakit tidak lama. Beliau sudah bisa rawat jalan, dan diperbolehkan kembali ke pondok. Itu adalah rasa bahagia sekaligus menimbulkan kekhawatiran. Sebab, kehidupan bagi beliau adalah dedikasi. Dengan kursi roda, dengan tangan yang sulit digerakkan, beliau tidak pernah lepas dari shalat jamaah bersama-sama santrinya.
Beliau seperti hendak berkata, “Saya yang sakit, masih bisa berjamaah, bagaimana yang sehat?” Tapi beliau selalu membantah keadaan sakitnya, “Saya tidak sakit. Saya masih bisa berpikir dan berbuat.” Bagi beliau, rasa sakit itu adalah ketika tidak bisa lagi berbuat lebih untuk pengabdian.
Itulah sebabnya, bapak kiai selalu menegur beberapa ustaz yang menunda pekerjaan dengan alasan penyakit ringan. “Kalau ada tugas, tunda dulu lah sakitnya itu…,” begitu gurau beliau sambil menyindir. Kami yang tidak memiliki jiwa pengabdian yang tinggi, kadang-kadang menunda pekerjaan, hanya karena sakit gigi, sakit kepala, dan alasan-alasan yang sepertinya terlalu dibuat-buat. Jauh dibanding pembuktian bapak kiai saat mengalami gangguan kesehatan.
Mungkin tidak ada yang kekal kecuali kenangan-kenangan, kecuali rasa cinta yang dirawat dan diperjuangkan. Pagi sekali, saya harus mendengar kabar itu: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, KH. Muhammad Idris Jauhari meninggal dunia, 28 Juni 2012, pukul 06.55 WIB. Mendengar kepergian seseorang yang berada dalam jiwa, akan terlampau sulit diurai dengan rasa sabar dan tawakkal. Rentang waktu yang tak begitu lama sejak kelahiran beliau 28 November 1952.
Beliau bagi saya adalah semisal Syamsu Tabrizi bagi seorang Rumi. Bagi Rumi, Syamsu Tabrizi adalah pribadi penuh pesona rohani, yang membakar dunia batinnya, menyalakan hatinya, dan menariknya ke dalam pusat pusaran Cinta Ilahi yang sempurna. Maka, Rumi amat terluka ketika sufi dari Tabriz, Iran, itu pergi meninggalkannya, dan tak kembali lagi. Sementara, saya terluka tidak hanya dalam hati. Saya juga terluka oleh kebodohan diri dan kekhilafan atas pesan-pesan beliau. Beliau pernah berkata, “Anak-anakku, saya dihormati bukan karena kemuliaan yang saya miliki. Tetapi karena Allah menutupi aib-aib saya.”
Saya kadang berpikir cara berjumpa, untuk sekedar meminta maaf, untuk sekedar meminta restu, mencium tangannya, lalu bergairah untuk menjalani hidup. Saya kehilangan apa yang menjadi darah bagi tubuh.
Saya takut tidak bisa mengalahkan bayang-bayang sendiri, sementara “pahlawan-pahlawan kecil” terlanjur beliau sematkan. “Di hati kami, kalian adalah pahlawan pejuang harapan kami. Menangkanlah perjuangan ini!”
“Sadarlah selalu, Anak-anakku … Kalian adalah orang yang berharga. Karena itu, hargailah diri kalian. Tapi jangan sekali-kali minta dihargai. Orang yang meminta-minta dihargai biasanya memang tidak berharga. Hargai diri kalian sesuai dengan harga yang sebenarnya. Jangan terlalu mahal, sehingga kalian tidak laku dan dijauhi orang. Tapi juga jangan terlalu murah, sehingga akhirnya kalian menjadi orang-orang yang tidak berharga sama sekali. Dan yang terpenting, letakkanlah diri kalian pada tempat yang berharga, agar harga diri kalian tetap tinggi dan tidak jatuh.”
Dan engkau terus bersama kami dalam kalimat-kalimat yang memanjang dan menghunjam. []
Ach. Nurcholis Majid, alumnus TMI Al-Amien Prenduan, 2006. Kini, mahasiswa Pasca Sarjana Ma’had Ad-Dirasat Al-Islamiah li Imam Al-Baquri, Kairo, Mesir.