Penghujung tahun 1996, menjelang tahun baru 1997. Ujian Akhir Tahun—begitu kami biasa menyebutnya—baru saja berakhir. Tinggal Kuliah Kemasyarakatan, lalu libur panjang. Tetapi kami, santri-santri kelas akhir, punya kesibukan yang berbeda. Beberapa hari ke depan, kami akan segera diwisuda. Itu artinya kami akan bernyanyi bersama di hadapan para undangan dan hadirin. Maka sibuklah gitaris-gitaris angkatan kami menyetem gitar serta mencari not dan kunci. Di tempat lain, para pujangga kami juga sibuk menyusun puisi perpisahan, berharap akan lahir puisi paling mengharukan. Kami, termasuk yang bukan gitaris dan pujangga, terus berlatih koor 2-3 kali sehari, menyanyikan lagu Oh Pondokku (Hymne Al-Amien Prenduan belum ada saat itu) dan beberapa lagu gubahan kami sendiri. Lalu gladi kotor, gladi resik, dan segeralah kami akan tiba di puncak. Wisuda. Absah menyandang predikat alumni TMI.
Tetapi bukan itu saja. Pondok kita saat itu sedang mengadakan perhelatan besar. Peringatan dan Kesyukuran 45 Tahun Al-Amien Prenduan. Banyak alumni yang pulang. Banyak pula tokoh yang berkunjung. Beberapa di antara mereka diberi kesempatan berbicara di depan para santri. Salah satu yang saya ingat adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin (Pimpinan Muhammadiyah sekarang) yang bercerita tentang kekagumannya pada Kyai Maktum. “Beliau ini,” tutur Pak Din, “adalah satu-satunya kawan yang tidak pernah saya kalahkan di bidang akademis selama di Gontor.” Belakangan, ketika nyantri di Gontor, saya berulangkali memperoleh kisah-kisah luar biasa tentang reputasi intelektual kyai saya yang satu ini. Kapan-kapan, saya akan ceritakan kisah-kisah tersebut.
Selain Pak Din, saya juga terkesan dengan pidato (alm.) Nurcholish Madjid. Tidak banyak yang saya tahu tentang Cak Nur waktu itu, selain bahwa beliau adalah tokoh yang kontroversial. Apa yang beliau bicarakan di hadapan para santri juga tidak sepenuhnya saya pahami. Terlalu berat, meski saya kira beliau sudah berusaha menyederhanakannya. Apalagi cara beliau menyampaikannya sangat datar. Tidak seperti Zainuddin MZ yang mengalun dan memukau. Tetapi, sejak sore ketika saya mendengar pidato Cak Nur itu, saya jadi tahu perbedaan antara dua buah kata dalam bahasa Inggris. Dan mengingat minat dan kemampuan bahasa Inggris saya yang tidak bagus-bagus amat, itu sudah bisa dibilang sebuah prestasi.
Dua kata itu adalah limit dan border. Yang pertama berarti “batas”, yang kedua berarti “perbatasan”. Yang pertama adalah sesuatu yang memang tidak bisa kita lampaui, yang kedua adalah sesuatu yang perlu dan harus kita lewati. Sore itu, menjelang Maghrib, Cak Nur mengajari kami untuk pandai-pandai membedakan antara limit dan border, antara batas dan perbatasan.
Cak Nur berbicara panjang lebar tentang perbedaan dua kata ini. Tapi saya tidak ingat sedikit pun darinya. Satu-satunya yang melekat dalam pikiran saya adalah dua kata itu berikut konteksnya. Limit dan border. Limit dan border. Baru beberapa tahun setelah itu, saya sadar bahwa pesan Cak Nur tidak sesederhana makna limit dan border yang tertera di dalam kamus. Oh ya, baru belakangan pula saya tahu bahwa untuk kata yang kedua, bisa juga digunakan kataboundary.
Saya termasuk penggemar cerita-cerita silat. Saat kuliah semester-semester awal di Yogyakarta, hampir setiap malam Minggu saya habiskan dengan membaca berjilid-jilid novel silat karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo yang saya sewa dari persewaan buku di dekat kos. Saya juga suka komik silat, seperti Kungfu Boy. Entah kenapa, saya selalu merasa bahwa para pendekar dalam cerita-cerita silat itu hadir dan membuat perbedaan melalui kemampuan mereka mengembangkan diri dan kemampuan, melintasi perbatasan.
Saya juga suka membaca buku-buku biografi. Saat kelas enam dulu, setiap santri diwajibkan menyusun tulisan tentang biografi tokoh idolanya. Saya menulis tentang Muhammad Iqbal, seorang pemikir, penyair dan filsuf dari Pakistan (lebih tepatnya, dari India, karena Pakistan baru lahir berkat jasa tokoh idola saya ini). Saya juga baca biografi Soekarno dan Hatta. Juga M. Natsir dan KH. Imam Zarkasyi. Setiap kali membaca tentang tokoh-tokoh tersebut, selalu saya ingat kutipan dari Thomas Carlyle, “Sejarah terus berputar dengan ‘orang-orang besar’ itu menjadi porosnya.” Ya, saya pikir itu benar. Kita harus menjadi “orang besar” untuk tercatat sebagai “poros sejarah”. Dan orang-orang besar itu adalah mereka yang mampu melintasi perbatasanmereka sendiri.
Lalu, masih saat kuliah di Yogyakarta, saya membaca sebuah ulasan tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Tidak saya ingat pasti siapa penulisnya. Yang jelas, tulisan itu menyadarkan saya bahwa salah satu kunci kesuksesan Rasulullah SAW terletak pada terciptanya sekelompokminoritas kreatif di sekeliling beliau. Ya, minoritas yang kreatif. Perubahan dalam skala yang besar, atau sebuah revolusi, seringkali tidak mempersyaratkan, pada awalnya, bahwa seluruh masyarakat meyakini dan memperjuangkan hal yang sama. Perbedaan antara sebuah gerakan yang sukses dan yang gagal acapkali terletak pada ada atau tidaknya segelintir orang yang memperjuangkan gerakan tersebut secara cerdas, militan dan tanpa kenal lelah—sekelompok minoritas yang kreatif. Dalam konteks sejarah hidup Rasulullah SAW, minoritas kreatif itu adalah sahabat-sahabat terdekat beliau. Mereka istimewa karena mereka meyakini sebuah cita-cita tentang kejayaan Islam, lalu memperjuangkannya habis-habisan, melintasi perbatasan.
Kita seringkali menciptakan batas bagi kemampuan kita sendiri. Kita meyakininya sebagai garis yang yang tidak mungkin kita lintasi. Padahal, ia sejatinya adalah perbatasan, sesuatu yang mestinya kita ciptakan untuk suatu saat kita lampaui. Memang selalu ada batas untuk kemampuan kita, tetapi kita barangkali tidak pernah dan tidak perlu tahu di mana batas itu. Kadang-kadang kita gagal mengembangkan diri lantaran terlampau yakin bahwa kita sudah sampai di garis batas.Sampai hari ini, misalnya, saya tidak pernah bisa memainkan gitar untuk mengiringi satu lagu secara utuh. Barangkali itu karena saya dahulu menciptakan batas yang terlalu sempit untuk kemampuan saya memainkan gitar, lalu meyakininya sebagai sebuah garis yang tidak terlampaui. Banyak kawan-kawan saya dahulu yang menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa yang sulit dipelajari. Bahkan mungkin ada juga di antara kita yang berpikir bahwa diri mereka tidak akan pernah bisa beribadah setekun dan sekhusyu’ para kyai. Mereka tidak sadar bahwa tepat pada saat mereka berpikir semacam itu, mereka sesungguhnya telah menetapkan batas yang mengungkung dan mengerdilkan diri mereka sendiri.
Menyadari perbedaan antara batas dan perbatasan itu bisa melahirkan istiqâmah, sebuah perpaduan antara optimisme, konsistensi, persistensi, dan kreativitas. Orientasinya adalah bagaimana menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dalam beribadah, kita menjadi sadar bahwa kita bisa lebih baik dari hari ini. Dalam belajar, kita menjadi yakin bahwa kita bisa lebih cerdas dari hari ini. Dalam berlatih, kita menjadi tahu bahwa kita bisa lebih terampil dari hari ini. Lantaran kita mengerti bahwa kita hari ini belum mencapai batas akhir kemampuan kita.
Seperti Rasulullah SAW yang mengingatkan kita untuk menjadikan hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Seperti para sahabat Nabi yang tidak pernah berhenti meyakini kebenaran ramalan Rasulullah SAW bahwa Islam suatu saat nanti akan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Seperti Thariq ibn Ziyad yang membakar perahu pasukannya agar mereka tidak punya pilihan lain selain menaklukkan Andalusia. Seperti Thomas Alva Edison yang tidak menyerah meski 9.994 kali gagal dalam percobaannya menciptakan bola lampu. Seperti para kyai dan guru yang tak pernah lelah memarahi dan menegur kesalahan kita. Seperti para santri yang terus beribadah dan belajar, melawan kantuk dan lelah di badan. Dan seperti banyak yang lain lagi. Karena mereka tahu bahwa yang terbentang di depan bukanlah batas, tapi perbatasan—bukan limit, tapi border.
Seperti pondok kita. Terus maju, melintasi perbatasan, dan jaya, hingga di akhir masa. Amin.
KH. Ghozi Mubarak Idris, MA