Kamis (28 Juni 2012 M/8 Sya’ban 1433H) menjadi hari penuh duka. KH. Muhammad Idris Jauhari, atau populer disebut Kiai Idris dan akrab kami sapa Ustadz Idris, menghembuskan napas terakhir di kediamannya Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura.
Hingga kini dan sampai kapan pun, sosok kharismatik beliau tak akan lekang dari ingatan, karena begitu besar jasa dan sumbang pemikiran beliau dalam dunia pendidikan Islam di Tanah Air.
Bagi santri beliau seperti saya, sosok Ustadz Idris adalah pribadi mengesankan. Meski telah tiada, tak jarang sosok beliau muncul dalam mimpi saya. Beberapa waktu lalu beliau datang menyambangi mimpi saya, hingga saya tergugah menulis kenangan ini.
Entah mengapa. Mungkin karena begitu dekat ikatan batin beliau dengan para santri. Sebagai santri angkatan keempat, delapan tahun saya hidup, dibesarkan, dan beliau bimbing di kampus tercinta Al-Amien Prenduan.
Tentu banyak kenangan hidup yang mengesankan mengenai Ustadz Idris, bahkan hingga saya menjadi alumni dan berkiprah di dunia luar. Hampir setiap sore, misalnya, saya dan kawan-kawan bermain sepakbola atau bola voli di lapangan samping rumah beliau. Tak jarang beliau turun ke lapangan ikut bermain, dengan tetap memakai sarung yang dijinjing-jinjing.
Selagi dulu mendapat giliran menjadi bulis (piket) malam, entah mengapa saya selalu ditugaskan berjaga di teras kediaman beliau. Di tengah malam beliau tiba-tiba keluar rumah membawa makanan. Pernah sekali beliau keluar membawa gitar dan mengajak kami bernyanyi. Kala itu lagu-lagu karya Ebiet G. Ade sedang hits, dan kami pun bernyanyi diiringi gitar yang beliau mainkan.
Pada diri sosok kharismatik ini tampak tersimpan jiwa seni, yang karyanya kini kita warisi. Misalnya, bersama almarhum Ustadz Bakir Hasan, Guru Bahasa Indonesia yang sastrawan asal Aengpanas Kapedi, beliau beberapa kali menggubah lagu. Kami pun termotivasi hingga membentuk sanggar-sanggar sastra, lembaga penerbitan, kaligrafi, bahkan kelompok teater al-Hilal.
Dibawah bimbingan beliau dan para Ustadz berdidikasi, plus sarana seperlunya, kami para santri mampu menemukan bakat masing-masing. Rekan kami Jamal D Rahman menemukan bakatnya sebagai penyair saat membuat puisi indah tentang mata air yang baru saja keluar dari sumur yang sedang digali di pondok untuk memenuhi kebutuhan air yang langka.
Saya mencatat, setidaknya tiga mata pelajaran yang selalu beliau ajarkan langsung kepada kami. Yaitu, Didaktik Metodik, Balaghah dan Bahasa Arab. Dengan pilihan itu, tampaknya beliau ingin menekankan betapa penting ketiganya ketimbang diserahkan pengajarannya kepada guru lain. Ketiganya pun terkait seni, yaitu seni mendidik/ mengajar dan seni sastra.
Di tiap kesempatan pertemuan, beliau tak henti-henti mendorong tiap santri untuk langsung terjun ke masyarakat setelah lulus dari pesantren. Di acara pelepasan santri kelas enam, misalnya, beliau berjam-jam memberi ceramah dan pengarahan yang intinya mendorong santri berdakwah dan mendidik masyarakat dimanapun berada.
Ilmu yang diterima santri di pondok beliau anggap cukup memadai untuk membimbing umat. Dan itu beliau buktikan sendiri dengan mengambil peran sebagai dai dan pendidik di pesantren dan masyarakat. Selepas menjadi alumni Pondok Modern Gontor, beliau langsung mengelola Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan tanpa merasa harus lebih dahulu kuliah diperguruan tinggi.
Kala masih muda, ketika memulai Pesantren Al-Amien dari nol, beliau seratus persen berusaha menerapkan ajaran gurunya Kia Imam Zarkasyi di Gontor, almamaternya. Untuk membesarkan Al-Amien, beliau pun mengajak sejumlah rekan alumni Gontor, seperti Ustadz Abbasi Fadhil dan Jamaluddin Kafie, serta Ustadz Fadholin yang kini tinggal di Lamongan.
Ustadz Idris selalu mendidik santri dengan disiplin yang keras, sama seperti para Kiai Gontor. Itu dimulai dari diri beliau, misalnya serius menyiapkan bahan pelajaran sebelum masuk kelas. Pada mulanya, kesiapan mengajar setiap guru beliau awasi sendiri, dan belakangan diformulasikan sehingga menjadi sistem pengajaran di Al-Amien.
Hampir setiap malam, usai makan di dapur belakang kediamanya, para guru beliau cegat mampir di saung samping rumah mendiskusikan ragam persoalan. Banyak ide tulisan saya lahir dari diskusi-diskusi semacam itu.
Diam-diam saya bertindak sebagai pencatat, lalu menuliskan ide yang menarik, seraya mengirimkan tulisan-tulisan tersebut ke beberapa media massa.
Beliau juga ketat memegang prinsip pesantren, dan enggan berkompromi terhadap hal-hal yang melanggar ajaran Islam, khususnya akidah. Prinsip keikhlasan, misalnya, merupakan harga mati di pondok sebagai refleksi dari akidah tauhid. Itu sebabnya, beliau tak segan meminta santri atau bahkan Ustadz untuk keluar dari pondok dengan alasan-alasan syar’i.
Beliau mentah-mentah menolak intervensi luar ke pesantren, terutama di masa orde baru. Otoritas Kiai di pesantren betul-betul beliau pelihara. Independensi pesentren tak boleh ditawar-tawar. Apapun bantuan yang ditawarkan, berupa uang ataupun tenaga, akan selalu melewati filter beliau agar tak mengkontaminasi pondok dan penghuninya.
Namun demikian, Ustadz Idris merupakan salah seorang Kiai Madura yang sangat terbuka terhadap ide, pemikiran dan orang baru. Hob de Jung, antropolog Belanda, pernah tinggal di Pondok untuk meneliti budaya Madura. Begitu pula pakar Islam dari Gereja Katolik Tom Michel SJ pernah pula beliau layani berdiskusi di pondok.
Tak aneh beliau kaya pengetahuan. Meski tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, Ustadz Idris banyak menelorkan inovasi baru dalam pendidikan dan pengajaran di pesantren. Saya kaget ketika pondok telah mempraktikkan konsep kompilasi dasar (Komdas) dan pilihan (Kompil), yang belakangan diterapkan dalam konsep pendidikan nasional.
Beliau pula yang merumuskan konsep pendidikan Mu’allimien secara utuh, ilmiah dan terstruktur, sehingga menjadi rujukan standar bagi pesantren-pesantren mu’adalah di Indonesia. Konsep itu dilengkapi dengan bangunan epistemologi keilmuwan Islam, yang menjadi dasar titik tolak konsep Komdas dan Kompil tadi.
Inspirasi utama rumusan konsep itu memang dari Gontor dan sejumlah lembaga Mu’allimien, seperti Muhammadiyah Yogyakarta dan Persatuan Umat Islam (PUI) Majalengka. Tapi Ustadz Idris mampu merumuskan konsep Mu’allimien yang bisa diterima semua pesantren, bukan hanya yang modern seperti Pondok Gontor, tapi juga yang Pondok Salafi seperti Pesantren Sidogiri.
Saya kira, itulah sumbangan terbesar Kiai Idris bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Tapi selama ini, gagasan, ide maupun inovasi beliau jarang terekspos ke luar. Beliau memang tak pernah mau menonjolkan diri dengan konsep-konsep dan rumusan brilian itu, hingga konsep besar seperti pendidikan Mu’allimien tersebut seolah lahir begitu saja.
Bahkan, beliau enggan tampil di pentas publik, karena baginya tugas mendidik di pesantren tak boleh terganggu. Beliau lebih memilih tinggal di dalam pondok, mencurahkan seluruh hidup, pikiran, waktu dan tenaga hanya untuk pesantren. Dengan ikhlas, penuh dedikasi, beliau berdakwah dan mendidik, demi mengharapkan ridha Allah SWT semata.
Selamat jalan, Ustadz. Jazakumullah atas ilmu, jasa, dan perjuanganmu demi Islam.
Allahummagfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu.
Ahmadie Thaha, Alumni TMI Al-Amien Prenduan Tahun 1980.