Setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah Al-Hasan, Sumber Gedugan Giligenting Sumenep (2004), saya melanjutkan studi ke Al-Amien Islamic Boarding School, Prenduan Sumenep Madura.
Tak banyak keluarga yang “yakin” bahwa saya akan kerasan, mengingat sistem di pesantren tersebut begitu “ketat”, super disiplin, sedangkan sebelumnya saya masih gemar main kelereng, layang-layang, dan cari sarang burung bareng kawan sebaya.
Memang, hari-hari pertama di pesantren bukan sesuatu yang mudah untuk saya taklukkan, bangun pukul 03: 00, dan tidur tepat waktu; 21: 00. Belum lagi harus mengikuti rentetan acara pesantren, yang nyaris tidak ada waktu untuk bersantai-santai.
Saya sadar, segala hal perlu “dipaksa” untuk menuju “bisa” dan “terbiasa” bahkan “luar biasa”. Misalnya, dalam melaksanakan shalat berjemaah yang sebelumnya karena takut dihukum Mahkamah Sayaariah kemudian menjadi “kebutuhan” dan “kebiasaan” yang saya kira hingga kini alumni Al-Amien juga merasakan kenikmatannya.
Begitu banyak kenangan atau pelajaran dari almamater tercinta untuk saya tulis, namun kali ini, saya ingin fokus bercerita satu hal tentang budaya baca-tulis (literasi) saat saya nyantri di Al-Amien.
Al-Amien adalah salah satu pesantren yang sangat berhasil “melahirkan” banyak para penulis, pemikir, sastrawan; penyair, cerpenis, novelis, dan semacamnya.
Di antara para penulis (alumni Al-Amien) yang saya kagumi, adalah Jamal D. Rahman, siapa yang tak kenal sastrawan satu ini, dia adalah salah satu pimpinan Majalah Sastra Horison. Karyanya telah dinikmati masyarakat nasional, dan internasional. Amir Faishal Fath, seorang ahli tafsir al-Qur’an. Beliau juga juri di acara Hafidz Indonesia yang ditayangkan di salah satu stasiun TV swasta. Di antara karyanya adalah “The Unity of Al-Qur’an” . Mun’im Sirry; asisten profesor teologi di Universitas Notre Dame AS tersebut, seorang penulis hebat dan pemikir (terlepas dari kontroversinya). Penulis Buku “Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions” (Oxford University Press, 2014). Ahmadi Thaha; seorang wartawan senior Tempo, juga penerjemah buku.
Di jajaran penulis muda, Hamli Syaifullah; Dosen Manajemen Perbankan Syariah di Universitas Muhammadiyah Jakarta, adalah penulis dan blogger yang luar biasa produktif, dengan strategikeuangan.com. Karyanya “bertebaran” di koran-koran nasional. Syarif Hidayatullah; Dosen di Universitas Prof. Dr. HAMKA, Jakarta, seorang cerpenis nasional. Cerpennya Malam Ini Rembulan Tak Datang dinobatkan sebagai cerpen terbaik tingkat internasional dalam lomba cerpen di Univeristas Negeri Jakarta (UNJ). Vita Agustina, seorang novelis muda berbakat. Novelnya yang terkenal berjudul “Akademi Harapan; Irama 7 Asa”. Masih banyak penulis Al-Amien yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu.
Mengapa Al-Amien sukses mencetak para penulis hebat? Menurut hemat saya ada dua faktor penting: pertama, karena ada figur yang diteladani. Kedua, karena ada sistem, dan pembudayaan yang sengaja diciptakan para pimpinan.
Siapa sosok yang diteladani para santri dalam budaya tulis- menulis? Siapa lagi kalau bukan para kiai pimpinan pesantren Al-Amien, salah satunya adalah K. H. Moh. Idris Djauhari. Beliau bukan seorang sarjana apalagi profesor, “hanya” lulusan Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah, Gontor Ponorogo (se-level SMA/ MA), namun kegemaran dan produktivitas beliau dalam “menulis” sungguh sangat luar biasa. Karya buku yang dihasilkan begitu banyak, tidak hanya yang berbahasa Indonesia, bahkan beliau juga menulis banyak kitab berbahasa Arab, di antara karya beliau yang hingga kini terus dikaji para santri, adalah: Mabadi Ilmi Tarbiyah, Mabadi Ilmi Ta’lim, Tazwidul Mufrodat, Ilmu Jiwa Umum, Ilmu Jiwa Pendidikan, Berkembang Berjasa dan Mandiri, Alumni Sebagai Perekat Umat, Pembudayaan Hidup Islami Ma’hadi dan Tarbawi, Hakikat Pesantren dan Kunci Sukses, Cara Belajar Efektif, dan masih banyak yang lainnya.
KH. Moh. Idris Jauhari, begitu disiplin “mendidik” para santri dalam budaya literasi, bahkan aturan “membawa buku kemana pun pergi” adalah salah satu atmosfer yang sudah membumi di Al-Amien. “Tidak membawa buku” berarti meremehkan ilmu, dan siap berhadapan dengan para Mu’alliem (pengurus), dan “Mahkamatul Lughah” (bagian bahasa).
Kegiatan “Insya’“ (mengarang) dengan tiga bahasa secara bergiliran setiap pekan merupakan program wajib pesantren, sehingga jika para santri (alumni) Al-Amien diminta “mengarang/menulis” dimana dan kapan pun mereka siap. Bahkan ada lelucon yang sangat masyhur saat saya masih nyatri, saat ujian, dan sebagian para santri kesulitan menjawab soal-soal, mereka berkata: “Insya’ faqoth, Insya Allah shahih!, “ artinya “Ngarang saja, Insya Allah benar juga kok.
Kajian-kajian ilmiah di kalangan santri, dan Sanggar Sastra begitu semarak. Klub-klub menulis, dan bahasa tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Semua berlomba-lomba menghasilkan karya-karya yang wow-fantastis. Tiga majalah; Qolam, Zeal, dan al-Wafa’ begitu bergelora sebagai media publikasi, dan dakwah para santri. Semua saling menghidupkan “budaya literasi”!
Edi Sugianto (Penulis dan Penyair, Alumnus Pesantren Al-Amien Prenduan)