Beberapa hari lalu, seorang kawan mem-forward-kan ke saya potongan transkrip tawsiyah Pak Kiai pada acara wisuda TMI ke-33. Tentu saja transkrip itu sama sekali tidak menggambarkan secara utuh nasehat-nasehat Pak Kiai tentang bagaimana seharusnya santri-santri al-Amien berkiprah dan mengemban amanah “mundzir al-qaum” di masa depan, karena memang dipotong dan ditranskip untuk kepentingan ideologi tertentu. Tapi, dari penggalan transkrip itu, saya memahami kekhawatiran dan keprihatinan Pak Kiai tentang adanya santri-santri al-Amien yang “melupakan langkah-langkah pertama dengan dzikrullah. Mereka sibuk… mengandalkan pikirannya.” Ini nasehat yang seyogyanya dicamkan oleh seluruh santri, terutama saya sendiri.
Nasehat Pak Kiai, orang tua dan guru kita ini, bukan hanya benar dalam kontennya, tapi juga tepat waktu dan pada tempatnya. Beliau menyampaikan pesan-kesan itu di hadapan santri-santri al-Amien yang akan memulai fase baru dalam kehidupan yang kian meminta etika dan paradigma baru. Sebagian dari mereka mungkin memilih langsung terjun ke masyarakat, sebagian mengabdikan diri di dunia pendidikan, dan sebagian memilih melanjutkan pengembaraan intelektual. Apa pun pilihan mereka, nasehat-nasehat Pak Kiai tetaplah relevan. Sebagian kawan mempersoalkan penggunaan istilah “liberal”, “pluralis”, dan “sekularis” dalam tawsiyah Pak Kiai, saya katakan singkat: itulah kekhawatiran Pak Kiai! Sebagai orang tua, beliau khawatir, santri-santri yang akrab dan bergelut dengan pemikiran-pemikiran progresif akan “melupakan langkah-langkah pertama dengan dzikrullah”. Saya sudah terbiasa dengan teori-teori yang rumit, dan ketiga istilah itu (liberalisme, pluralisme, dan sekularisme) sangat kontestatif dan masih diperdebatkan dalam dunia kesarjanaan. Pak Kiai tidak bermaksud terlibat dalam teori-teori rumit menyangkut ketiga istilah itu. Saya kira, pesan Pak Kiai jelas: jangan menjadi liberal, pluralis, atau sekularis yang “melupakan langkah-langkah pertama dengan dzikrullah”!
Yang saya kagumi dari nasehat-nasehat Pak Kiai, as always, adalah kenyataan bahwa beliau secara sadar tidak menghakimi keimanan seseorang (value judgment). Apakah seorang liberal, pluralis, atau sekularis, jika saya boleh menggunakan istilah-istilah itu, secara otomatis jauh dari dzikrullah? Ini value judgment, namanya. Suatu sikap yang tidak dibenarkan al-Quran (Q. 49: 11; 3: 216), dan juga tidak dipraktikkan ulama-ulama kita terdahulu. Perbedaan argumentasi para ulama terdahulu sangat tajam, tapi ketika menyangkut keimanan seseorang mereka cenderung menyampaikan pujian. Kritik-kritik Ibn Taymiyyah terhadap Ibn ‘Arabi, misalnya, sangat keras. Tapi itu tidak menghalangi Ibn Taymiyyah memuji setinggi langit kesalehan dan keberagamaan Ibn ‘Arabi. Menghakimi keimanan seseorang berarti mengambil-alih hak-hak prerogatif Tuhan. Betapa arogannya!
Lagi pula, kategori-kategori “liberal”, “pluralis”, “sekularis” atau bahkan “konservatif” dan lainnya sebenarnya tak lebih dari bentuk pengelompokan yang dibuat untuk memudahkan membaca corak pemikiran seseorang. Karena itu, makna konotatifnya bergantung pada siapa yang menggunakannya. Dalam dunia akademik, kategorisasi semacam ini — kendati dapat memudahkan pengklasifikasian seseorang dan pemikirannya – sangat problematik dan sulit dipertanggungjawabkan. Seorang sarjana (scholar) tidak perlu khawatir dengan pengelompokan semacam itu. Tugas sarjana adalah melahirkan gagasan dan ide. Saya sendiri tidak peduli orang mengelompokkan saya di mana. Tugas saya adalah bekerja keras untuk memahami dan menawarkan penjelasan dan ide yang saya yakini lebih baik. Terserah orang mengelompokkan saya ke dalam kategori apa. Karena, saya tahu, kategori-kategori itu kini tidak netral, menjadi overloaded terms.
Ambil contoh, istilah “sekularisme”. Bagi sebagian kalangan, sekularisme itu memusuhi agama, tapi bagi kalangan lain, sekularisme justru melindungi agama-agama. Ada yang mengatakan, sekularisme itu fenomena global yang akan dialami manusia belahan dunia manapun dan agama apa pun. Sebagian lain menolak, karena sekularisme lahir dalam setting sejarah tertentu di Eropa. Persoalannya bukan mana yang benar di antara dua arus pemikiran ini. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri yang kemudian mengisi muatan kategori-kategori itu sehingga menjadi tidak netral. Ini pengetahuan dasar, belum masuk ke dalam diskursus yang rumit. Saya punya argumen sendiri yang tak mungkin saya diskusikan karena keterbatasan ruang. Poin saya: sungguh naif jika kita menghakimi keimanan seseorang (apalagi menyebutnya “kafir!”) hanya karena ada orang yang mengelompokkannya ke dalam kategori tertentu, sebut liberal misalnya.
Karena itu, saya memahami tawsiyyah Pak Kiai tidak dimaksudkan untuk mengekang atau mengkontrol pemikiran-pemikiran santri al-Amien. Pengembaraan intelektual dan the pursuit of knowledge tidak berhenti setelah kita selesai belajar secara fisik di Pondok al-Amien. Saya selalu teringat nasehat Pak Kiai bahwa Pondok hanya memberikan “kunci”, silahkan buka “pintu” pengetahuan yang luas ini. Sementara persoalan epistemologisnya (darimana kita bisa tahu) dan persoalan metodologis dan teoritisnya (bagaimana cara menggunakan “kunci” itu) diserahkan kepada kita. “Pintu” pengetahuanpun tidak tunggal. Terdapat banyak pintu dan jendela pengetahuan. Pak Kiai juga tidak pernah membatasi pengetahuan apa saja yang bisa kita raih setelah kita memasuki “pintu” pengetahuan yang luas ini. Satu hal yang niscaya, bisa jadi kita belum mendapatkan apa yang sudah diraih Pak Kiai dan para asatidz lain, pun juga tak tertutup kemungkinan kita mendapatkan sesuatu yang tidak didapat mereka. Atas dasar perbedaan pengetahuan dan pengalaman itu, kemungkinan kita berbeda pandangan dalam hal-hal tertentu dengan mereka menjadi terbuka.
Namun demikian, perbedaan pendapat tidak mengurangi rasa hormat kita kepada para asatidz semua. Saya sendiri dengan segala kerendahan hati merasa berbeda pendapat dengan Pak Kiai dalam beberapa hal. Ya, mungkin karena perbedaan bacaan dan pengalaman. Misalnya, saya tidak akan menggunakan ayat “wa lan tardha ‘anka al-yahudi wa lan nasara” dalam konteks seperti beliau gunakan. Mungkin karena pengembaraan dan bacaan, saya berkesimpulan: “to be a religious is to be an inter-religious”. Apa kaitannya dengan “wa lan tardha”? Ini perlu diskusi panjang. Sekali lagi, saya tak akan mendiskusikannya di sini. Singkatnya, kesimpulan seperti itu muncul karena saya belajar agama-agama secara lebih dekat, di samping – tentu saja – saya sangat dekat dengan literatur-literatur Islam klasik sendiri. Enam tahun belajar di Pakistan memberi saya modal untuk mendekati literatur Islam klasik. Selama belajar di Amerika, saya mencoba memanfaatkan untuk belajar dengan sebanyak mungkin Profesor kendati konsekwensinya menunda saya cepat selesai. Saya pernah belajar di UCLA (kampus yang melahirkan Atho Mudzhar, Din Syamsuddin, dll), Arizona State University (“Kiki” Hermawan Sulistyo), sebelum akhirnya merasa mantap di University of Chicago (Amien Rais, Cak Nur, dll). Namun, berbeda dengan Amien dan Cak Nur, di University of Chicago saya belajar di Divinity School khusus buat studi agama-agama. Kombinasi studi di Pondok al-Amien, Pakistan, dan Amerika mengokohkan keyakinan saya perlunya kita menghargai dan memperlakukan agama-agama secara lebih adil. Setelah sekian tahun saya mengembara secara intelektual, saya baru bisa memahami mahfudhat yang saya pelajari di al-Amien: “al-nas a’dau ma jahilu”. Manusia memang cenderung memusuhi sesuatu yang ia tidak ketahui, atau karena pengetahuannya tidak cukup memadai.
Akhirnya, mungkin karena ikatan emosional dengan Pondok begitu kuat, saya menulis surat ini begitu sentimental. Saya kembali kangen dengan tawsiyah Pak Kiai dan para asatidz. Semoga saya tidak “melupakan langkah-langkah pertama dengan dzikrullah”. Amin.
Chicago, 14 September 2008