Hanya memberikan dua pilihan: kebaikan, atau keburukan. Tidak lebih.
Karena pada hakikatnya manusia di dunia ini,
tak lebih sebagai cerita bagi para penerusnya.
Kebaikan dan keburukannya,
lambat-laun akan tersingkap dalam dalam altar waktu.
Waktu termasuk modal utama manusia dalam berusaha.
Apa yang luput dari usaha, masih mungkin diraih di lain waktu,
selagi yang luput bukan waktu.
Pada hakikatnya, segala sesuatu yang berwujud selalu memiliki konsep ruang dan waktu. Konsep ruang untuk menyatakan kisaran tempat, dan konsep waktu menjadi penegasan masa keberadaan sesuatu. Ini menjadi titik tolak keimanan kita, bahwa selain Allah swt., segala yang ada di alam semesta adalah makhluk, dan karenanya bersifat hawadits ’Saat ini menjadi “ada”, setelah sebelumnya melalui tahapan masa “tidak ada”. Sebagai contoh, kata dunia, berasal dari bahasa Arab, dunyâ, yang berarti tempat yang terdekat.
Kata ‘dunia’, mencakup dua pengertian; dunyâ dan ûlâ. Pengertian pertama mengandung konsep ruang, sedangkan konsep waktunya ialah ûlâ, seperti dalam firman Allah, “walal âkhiratu khayrun laka minal ûlâ”. Jika meruntun sebatas pemahaman simpel, waktu menjadi persoalan yang sangat abstrak, sehingga terefleksi dalam sebuah hadis yang mungkin agak aneh, “Janganlah kamu menyalahkan waktu, karena waktu itu adalah milik Tuhan.”
Serupa dengan konsep ruang dan waktu, Nurcholis Madjid menjelaskan, “Dalam bahasa Latin, ada konsep waktu yang disebut saeculum, maka ada istilah secular yang artinya masa kini. Konsep ruangnya adalah mundus, maka ada istilah mondial, yang artinya dunia. Saeculum itu padanannya ‘ûlâ, yaitu waktu yang pertama, lawan dari al-âkhirah. Ungkapan “dunia-akhirat” sebenarnya sedikit tidak simetris, sebab dunia merupakan konsep spasial, sedangkan akhirat merupakan konsep temporal”.
Jadi, kenyataan itu bisa dikenali sebagai konsep ruang (special concept) ataupun konsep waktu (temporal concept), bahasa Arabnya, dunyâ dan ‘ûlâ. Perkataan al-dunyâ yang berarti ‘yang terdekat’ itu sebetulnya betuk feminin dari al-‘adnâ. Al-‘adnâ adalah bentuk maskulinnya. Mengapa gendernya feminin? Ada kecenderungan dalam bahasa Arab bahwa hal-hal yang besar selalu diasosiasikan pada perempuan (muannas): matahari, surga-neraka, langit, dunia, dan lain-lain. Ini gejala bahasa, tetapi penting diperhatikan karena kemungkinan ada motif kultural di dalamnya.
Alasan lain mengapa perkataan al-dunyâ itu mengambil bentuk gender feminin adalah sebagai berikut: al-hayât-u ‘l-dunyâ (hidup yang terdekat) adalah lawan dari al-hayât-u ‘l-‘âkhirah (hidup yang kemudian). Ini konsep spasial atau konsep ruangnya, sedangkan konsep temporalnya adalah al-‘ûlâ. Al-‘ûlâ inilah yang persis merupakan lawan dari al-‘âkhirah. Al-‘ûlâ adalah bentuk feminin dari al-awwal. Maka kalau mau simetris dari segi bahasa, istilahnya bukan dunia-akhirat, tetapi ‘ûlâ-‘âkhirat: keduanya sama-sama konsep temporal. Hanya perlu digarisbawahi bahwa manusia hidup di dunia ini jauh lebih dari segi ruang. Sedangkan waktu yang akan datang, setelah mati, karena tidak tahu ruangnya, kesadarannya lebih tampak pada konsep waktu.
Dalam bahasa Latin, saeculum, yang dari situ diambil perkataan secular, memiliki arti persoalan-persoalan sekarang. Tetapi kalau sudah menjadi paham sekularisme, itu artinya suatu paham yang tidak mengakui adanya hal yang akan datang. Kemudian konsep ruangnya adalah mundus. Jadi alam raya ini disebut saeculum atau mundus. Demikian cendikiawan yang akrab dipanggil Cak Nur ini menjelaskan tentang konsep ruang dan waktu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, waktu adalah “seluruh rangkaian saat yang telah berlalu, sekarang, maupun yang akan datang.” Sedangkan dalam Al-Qur’an, seperti penjelasan M. Quraish Shihab, kata waqt (waktu) ditemukan tiga kali, hanya saja konteks penggunaan dan makna yang terkandung kurang sepadan dengan penjelasan di atas. Kata tersebut digunakan dalam konteks pembicaraan tentang masa akhir hidup di dunia ini. (baca QS 7: 187, 15: 38, dan 38: 81). Dari sini, dan setelah menelusuri seluruh bentuk kata lain yang berakar pada kata waqt, para pakar akhirnya menyimpulkan bahwa waqt adalah batas akhir dari masa yang seharusnya digunakan untuk berusaha sebaik mungkin.
Senada dengan pepatah Arab yang berbunyi, ”kod faata ma faata (Yang lalu, telah berlalu). Sebuah penegasan bahwa waktu yang telah lampau, sekali-kali tidak akan pernah datang lagi. Ia hanya akan tersisa sebagai kenangan, menjadi cerita apik, kisah indah, jika dilakoni dengan kebenaran dan keindahan. Sebaliknya, tak jarang masa lalu kelabu menjelma sebagai bayangan yang terus menghantui, memperpanjang deretan memori hitam, karena ia tercatat sebagai hasil tipu daya setan, dan menjadi lembaran kelam masa silam.
Demikianlah keberadaan waktu bagi kita di dunia ini, bagaikan cermin yang memantulkan “paras” perilaku kita. Hanya memberikan dua pilihan: kebaikan atau keburukan. Tidak lebih. Karena pada dasarnya manusia di dunia ini, tak lain hanya menjadi cerita bagi manusia-manusia setelahnya. Kebaikan dan keburukannya, lambat-laun akan tersingkap dalam tahapan seleksi sejarah. Akan selalu segar dalam kenangan, kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudara tirinya, Nabi Musa dan Fir’aun, Nabi Muhammad saw. dan para kaum kafir Quraish perongrong dakwah Islam. Semuanya menjadi kisah yang tak akan pernah usang dimakan waktu.
Selanjutnya Quraish shihab menjelaskan, kata lain yang digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjuk kepada ‘masa’ adalah ‘ashr. Kata ini, walaupun hanya ada satu (pada surat Al-‘Ashr), kaitannya dengan “kerja keras” justru sangat jelas. Apalagi ia digunakan dalam konteks pembicaraan kehidupan duniawi.
Dari makna katanya, ‘ashr berarti memeras atau menekan sekuat tenaga, untuk menghasilkan saripati sesuatu. Maka kata “’ashir” bermakna jus (hasil perasan). Al-Qur’an menamainya ‘ashr, karena manusia dituntut untuk menggunakannya sekuat tenaga, memeras keringat, agar bisa menghasilkan sari kehidupan.
Sepadan dengan pengertian tersebut, ‘ashr adalah masa menjelang terbenamnya matahari, masa seseorang telah selesai memeras tenaganya. Karena, pada hakikatnya, sejak pagi hingga siang hari, adalah saat untuk bekerja dan malam hari untuk istirahat. (QS 27: 86). Jadi, waktu termasuk modal utama manusia dalam berusaha. Apa yang luput dari usaha, masih mungkin untuk diraih esok hari, selama yang luput tersebut bukan waktu.
Sedemikian pentingnya arti waktu dalam kehidupan, hingga Allah swt., menjadikannya selalu bergandengan dengan kewajiban ibadah utama seorang muslim, yakni shalat lima waktu. Al-Qur’an menjelaskan bahwa shalat merupakan kewajiban atas kaum beriman dengan ”waktu” yang telah ditentukan (lihat QS 4:103), yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (shubh), diteruskan ke siang hari (zhuhr), kemudian sore hari (‘ashr), lalu sesaat setelah terbenam matahari (maghrib), dan akhirnya di malam hari (‘isyâ’).
Hikmah di balik penentuan waktu itu adalah agar kita tidak lengah, sejak waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (zhuhr) dan, lebih-lebih lagi, saat kita santai sesudah bekerja (dari ‘ashr sampai ‘isyâ’). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan untuk mencari kebenaran menjadi lemah, dan tak jarang kita malah tergelincir dalam gelimang kesenangan dan kealpaan. Karenanya, menjadi kewajiban saat melaksanakan shalat, mentaati alias disiplin waktu. Dan tentu, agar mengisi waktu luang dengan kegiatan bermanfaat dan mendekatkan diri kepada Tuhan (QS 94: 7-8).
Salah satu realita perbedaan yang nampak antara negara miskin, berkembang dan negara maju adalah cara atau kebiasaan menata waktu. Semakin maju sebuah negara, maka akan semakin berharga wujud waktu. Tak heran, jika semboyan, “Time is money” (waktu adalah uang) senantiasa menjadi pendorong mereka. Peluang waktu sama artinya peluang emas untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Maka tolak ukur penghitungan waktu, tidak lagi menggunakan hari, tapi jam, bahkan menit.
Beda halnya dengan kebiasaan kita, yang katanya masih berada dalam tahap negara berkembang. Efisiensi waktu masih jauh dari target harapan. Realita terlambat, jam karet, waktu molor, masih sangat akrab dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sebuah kenyataan yang sangat tragis, karena justru dianggap hal wajar oleh bukan saja dari kalangan awam, tapi justru diteladani para elite masyarakat: pemerintah, tokoh agama. Padahal, mayoritas penduduk negeri ini adalah umat Islam.
Kebiasaan hidup santai bangsa yang terus mengakar, seakan membingkai bahaya kerugian menyepelekan waktu, sehingga nampak remang-remang dan nyaris tertutupi. Hanya ketegasan Allah swt., dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ashr, yang bersumpah dengan wujud waktu, menyatakan, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menjelaskan, “Kerugiannya adalah karena tidak menggunakan ‘ashr, dan kerugian tersebut seringkali disadari pada waktu asar (menjelang terbenamnya matahari).” Hanya ada empat kelompok yang terhindar dari kerugian ini: pertama, yang mengenal kebenaran (ậmanủ), kedua, yang mengamalkan kebenaran (‘amilủ al-shalihật), ketiga, yang ajar-mengajar menyangkut kebenaran (tawậshauw bi al-haq); dan keempat, yang sabar dan tabah dalam mengamalkan serta mengajarkan kebenaran (tawậsauw bi al-sabr).
Ternyata, sekedar mengetahui dan mengamalkan kebenaran saja masih belum cukup untuk menghindari kerugian. Kita masih dituntut untuk saling menjaga, memelihara serta meningkatkan kualitas, kemudian berjuang bersama untuk meraih anugerah-anugerah Allah, dan tentunya, harus sabar.
Sejak kecil, minimal sehabis sekolah, kita terbiasa membaca surat Al-‘Ashr, sebagai doa perpisahan. Namun kebiasaan tersebut tak lebih menjadi “koor” bersama, tanpa ada upaya menjalankan maksud tersirat. Perlu juga kiranya, prinsip surah ini kita tancapkan dalam hati, setiap akan memulai kegiatan, agar waktu kita tidak terisi dengan aktivitas yang merugikan. Wallahu a’lam bi al-shawab
Zulfan Syahansyah, alumni TMI Al-Amien Prenduan, tahun 1999. Mantan Ketua FISTA.