MENDIRIKAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AMIEN

Suatu saat kelak, entah kapan, Al-Amien yang terletak di desa kecil di ujung timur Pulau Madura ini membuka lokasi baru puluhan hektar berdampingan dengan lokasi lama. Di dalamnya berdiri deretan bangunan super modern lengkap dengan peralatannya yang sangat canggih, menyembul di tengah-tengah pepohonan yang rindang menyejukkan. Di pintu gerbangnya ada papan nama bertuliskan…

UNIVERSITAS ISLAM AL-AMIEN

Di depan beberapa gedung terpampang tulisan Fakultas Ilmu-ilmu Tanzili, Fakultas Kedokteran, Teknik, Pertanian, Ekonomi, Ilmu-ilmu Politik, Ilmu-ilmu Sosial, dsb…

Mahasiswanya berjumlah ribuan, yang disaring dari ribuan pendaftar sebagai calon mahasiswa baru setiap tahun. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru Tanah Air dan Mancanegara, terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa yang beraneka ragam.

Banyak orang yang tertarik kepada universitas ini, karena ia memang memiliki daya tarik tersendiri, Ia mampu memadukan tradisi-tradisi kepesantrenan yang Islami dengan tradisi-tradisi keilmuan modern.

Masjid Jami’ Al-Amien yang masih nampak megah, kokoh, dan tidak kalah dengan bangunan-bangunan lain itu, menjadi pusat kegiatan keseharian seluruh penghuni kampus; sholat, berdzikir, belajar, berdiskusi, membaca Al-Qur’an, dsb. Di sudut-sudut tertentu dan di gazebo-gazebo nampak beberapa Ustadz yang juga Dosen sedang membimbing para mahasiswa mengkaji kitab kuning. Perpustakaan yang terletak di bagian belakang masjid tidak pernah sepi dari pengunjung sepanjang hari. Semua kebutuhan mereka dilayani serba otomatis lewat komputer, internet, dan peralatan canggih lainnya.

Di sana-sini di berbagai sudut kampus nampak para mahasiswa berbaur menjadi satu dengan santri-santri cilik TMI dan MTA, tanpa rasa risih dan rikuh sedikitpun, karena mereka juga merasa dirinya adalah Santri. Semuanya menyatu dalam dekapan ukhuwah islamiyah yang kokoh dan harmonis, tetapi tetap bergerak aktif dan dinamis dalam suasana kompetitif yang sehat untuk meraih prestasi setinggi-tingginya.

Begitu Adzan berkumandang, seluruh aktivitas dihentikan. Semuanya menuju masjid untuk salat jama’ah, beraudiensi dengan sang Kholiq dengan penuh khusyu’ dan tawadlu’.

Alumninya menjadi pelopor pelopor yang profesional dan gagah berani dalam bidangnya, memiliki prestasi yang tinggi dan mampu melahirkan karya-karya baru yang bermanfa’at bagi manusia dan kemanusiaan. Tetapi hatinya tetap tunduk di hadapan Sang Khaliq, dan tawadlu’ terhadap sesama. Tak ada kesan sombong, tak pernah meremehkan siapapun. Mereka dikenal sebagai “fursaan” di siang hari dan “ruhbaan” di malam hari. Mereka adalah “tokoh-tokoh” bidangnya yang sangat disegani dan dihormati, tetapi mereka tetap menjadi “bagian” dari masyarakat lingkungannya.

Demikianlah Obsesi cita-cita para pengasuh pondok pesantren Al Amien. Sebuah khayalan atau Utopia? Mungkin memang ada orang pesimis atau bahkan tersenyum sinis mendengar Obsesi ini. Suatu reaksi yang, bagi kita, wajar-wajar saja.

Dulu, di awal abad ke-19, ketika Kyai Idris patapan yang ‘ndeso dan kampungan’ itu berobsesi anak cucunya menjadi ulama dan tokoh-tokoh masyarakat, banyak tetangganya yang tersenyum sinis, ketika Kyai Khotib yang berada di bawah garis kemiskinan itu, berobsesi seluruh anaknya bisa naik haji dan belajar di Makkah, orang-orang tersenyum sinis. Begitu pula Ketika Kyai Djauhari di awal tahun 50-an, hanya dengan modal sebidang tanah kering yang sempit, berobsesi untuk membangun Pesantren besar bertaraf nasional yang representatif, banyak orang tersenyum sinis.

Maka tak heran, jika Obsesi Al-Amien untuk memiliki Universitas bertaraf Internasional ini, juga mendapat tanggapan dan reaksi yang sinis. Apalagi memang sudah berkembang suatu asumsi di kalangan para ahli, tentang “kemustahilan” lahirnya universitas yang qualified dari lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren. Mereka secara dikhotomis menggambarkan keduanya sebagai dua lembaga pendidikan yang memiliki prototipe yang bertolak belakang. Kepatuhan santri kepada Kyai dilawankan dengan keterbukaan dan kebebasan akademik. Keikhlasan dan kesederhanaan yang menjiwai aktivitas Pesantren dianggap sebagai penghalang kemajuan. Dan masih banyak asumsi-asumsi negatif lainnya yang bersumber dari “ketidaktahuan” atau bahkan dari “ketidakmautahuan”.

Padahal, tradisi-tradisi kepesantrenan yang ada dan berkembang sekarang ini, sebenarnya lahir dan diilhami oleh tradisi keilmuan dalam Islam yang dipadukan dengan tradisi-tradisi budaya bangsa. Yang pertama, telah membuktikan kemampuannya menjadi pelopor sekaligus memberikan arah yang tepat bagi upaya penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan yang kedua telah mampu mewarnai para santri dengan watak-watak yang positif, terutama dalam mengadaptasikan nilai-nilai universal dengan nilai-nilai setempat.

Selain itu sejarah perkembangan universitas-uni di Eropa dan Amerika mengajarkan kepada kita, bahwa banyak Universitas besar dan terkenal bermula dari kampus-kampus yang bernuansa keagamaan. Bahkan universitas-universitas Islam pada masa kejayaannya juga lahir dari semangat dan ruh keagamaan yang kuat, yang berawal dan berpusat di masjid. Istilah “universitas” yang dalam bahasa Arab disebut “Jami’ah” tidak bisa lepas dari istilah “al-Jami'” yang berarti masjid yang dipakai untuk melaksanakan salat Jum’at. Nah, masihkah kita ragu?

Lebih dari itu, modal dasar yang dimiliki Al-Amien saat ini sudah berkembang begitu rupa dan diakui memiliki kualitas unggulan yang kompetitif dan patut dibanggakan.

  • TMI dan TMIaI Al Amien, sebagai lembaga pendidikan keagamaan tingkat menengah telah memiliki reputasi nasional dan bahkan internasional. Beberapa Universitas di luar negeri Universitas Ummul Quro di Mekkah, Islamic University di Madinah, kuala Lumpur dan Islamabad, Universitas Al-Azhar di Kairo, Universitas Zaituna di Tunisia, telah memberi “mu’adalah”, atau persamaan ijazah bagi kedua lembaga tersebut. Keduanya diharapkan bisa mendroping calon mahasiswa pada Fakultas Ilmu-ilmu Tanzili.
  • Ma’had Tahfidzil Quran dengan SMP dan SMU-nya dan sistim pesantrennya, telah diakui oleh berbagai kalangan sebagai salah satu sekolah unggulan di negeri kita. Dari lembaga ini diharapkan lahir Fakultas-fakultas Eksakta.
  • Al Amin I dengan MTs dan MA plusnya juga telah menunjukkan reputasi dan prestasi yang patut dibanggakan, terutama dilihat dari NEM yang dicapai oleh murid-muridnya. Dari lembaga ini diharapkan lahir Fakultas-fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora.

Nah, masihkah ada orang yang tersenyum sinis? Kalaupun masih ada, kita maafkan saja. Bahkan kita berharap semoga hal tersebut justru menjadi cambuk untuk memicu kerja keras, usaha sistematis, dan do’a-do’a kita, dalam meraih obsesi dan cita-cita yang agung dan luhur ini.

Yang terpenting, kita harus sadar sepenuhnya bahwa untuk meraih Obsesi ini dituntut adanya kualitas yang tinggi dari setiap individu kita dalam berbagai bidang; menyangkut iman, ilmu dan amal; menyangkut moral, mental, ethos, wawasan intelektual, dan keahlian atau keterampilan tertentu. Kualitas individu tersebut kemudian digabung dalam teamwork yang solid, kompak dan padu antara kita. Akhirnya setelah ‘azm ini, marilah kita bertawakkal kepada Allah SWT. Semoga. Amien.

_____

Tulisan telah dimuat dalam buku Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan dalam Lintasan Sejarah (2002) 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top