Dimudifin Kiai

Ketika di pondok dulu, satu hal yang membuat saya senang ialah ketika dimudifin orang tua di hari Jumat. Meski jadwal mudif saya enggak sesering atau selama teman yang lain, namun kesannya tetap saja luar biasa. Ketika saya masih santri baru, jadwal dimudif ya paling dua bulan sekali. Berbeda ketika saya sudah menjadi santri lama, apalagi Niha’ie, setengah tahun sekali habis itu dijemput pulang seusai wisuda. Momentum saat dimudif banyak  hal yang diceritakan oleh orang tua kepada saya; keadaan keluarga, beberapa perubahan di rumah, dinasehati atau sekadar nanya kelanjutan saya habis wisuda.

Mayoritas cendekiawan muslim memahami bahwa orang tua itu ada dua macam; orang tua yang melahirkan kita dan orang tua yang memberi asupan spiritual serta batin kita. Kedudukan untuk menghormati seorang guru, kiai atau syekh  jelas sama dengan orang tua yang melahirkan kita. Bahkan sering saya temui, di teks-teks Hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah “orang tua” dari kaum muslim (Sahabat dst). Hal ini tentu sudah mafhum bagi kita.

Nah, sama halnya kedatangan KH. Ahmad Fauzi Tidjani, MA., ke Mesir kemarin (25 November – 5 Desember). Saya merasakan, saya dan teman-teman IKBAL, memiliki rasa yang sama; senang, terharu dan bahagia. Ya, karena orang tua batin dan spiritual mudifin kami di negeri yang jauh dari Tanah Air. Tentu ini bukan sekadar tulisan saja, saya melihat teman-teman IKBAL Korda Kairo berbondong-bondong untuk khidmah dalam kunjungan Kiai kali ini.

Terdapat beberapa momen menakjubkan yang sempat saya ingat saat mendampingi beliau selama di Mesir, di antaranya:

1. Ketika awal beliau tiba di bandara Kairo, beliau antusias sekali melihat kami yang sudah menunggu di luar bandara. Ketika kami bersalaman ke beliau, satu dawuh beliau pertama kali adalah menanyakan kabar anak-anaknya di Kairo.  “Bagaimana kabar teman-teman IKBAL, Nak? Saya ingin sekali ketemu sama mereka, secara khusus. Nanti kita makan-makan bareng. Mau apa kalian? Mau ayam apa kambing guling? Nanti saya traktir semuanya, ya,” ujar beliau sembari menanyakan jumlah teman-teman IKBAL Korda Kairo. Tentu ini menjadi kabar gembira, bahwa kami dianggap sebagai anak-anak beliau.

2. Ketika acara Silaturahmi Akbar dan Tausiah bersama beliau. Kiai Ahmad merupakan Masisir yang aktif, dalam pandangan saya. Beliau tidak sungkan berbagi pengalaman selama di Mesir, mulai dari aktif organisasi, berbisnis, kuliah, ngaji dan juga hobi olah raga (entah basket atau sepak bola). Seusai memberi tausiah, sesuai agenda dan jadwal, beliau kami sajikan jamuan khusus di ruangan VIP bersama senior IKBAL. Ketika saya matur ke beliau untuk mengantar ke ruangan tersebut, beliau dawuh, “Udah enggak usah, enggak usah. Makan di sini saja, saya ingin makan sama anak-anak saya dan yang lain.”

Seketika saya bilang ke teman-teman untuk memindahkan jamuan beliau ke luar ruangan khusus tadi. Saya kagum, bahwa beliau berkenan makan bersama teman-teman yang lain. Artinya, bahwasanya beliau mengajarkan ke kami untuk tetap bersahaja sesuai porsinya. Pun, ketika di lain hari seusai memberi tausiah khusus ke teman-teman IKBAL Banat di Sekretariat IKBAL Kairo, beliau tidak sungkan dan tidak segan mengobrol panjang lebar bersama teman-teman IKBAL Banin di kamar kami. Selama kami ngobrol bareng beliau, saya merasa takjub. Beliau memang bersahaja dan enggak sungkan untuk berbaur dengan kami. Padahal, kamar kami “agak berantakan” di bagian atas lemari dan penerangan lampunya agak redup. Obrolan yang dibahas pun seputar kabar pondok, menjadi intelek muslim yang hebat dan tentunya nasehat agar segera menuntaskan kuliah di berbagai jenjang strata.

3. Kunjungan ke Alexandria, bertemu Maulana Syekh ‘Ala Musthafa Naimah.

Perjalanan Kairo-Alexandria kurang lebih 3,5 jam. Beliau dijadwalkan bertemu Maulana Syekh Ala di rumah teman seangkatan saya di pondok, Ahmad Mu’allimul Umam. Setelah dijamu, shalat dan ngobrol sebentar, Maulana Syekh ‘Ala datang menemui beliau. Setelah saling berbincang, Syekh Ala dawuh, “Pak Kiai saya melihat gaya pelafalan dan bicara antum sangat fasih, jelas serta runut. Saya belum melihat orang Indonesia seperti ini sebelumnya, seakan-akan antum orang Arab.” Bahkan, ketika mau duduk pun, beliau berdua saling mempersilakan satu sama lain, enggak ada yang berkenan untuk saling mendahului. Hingga akhirnya Kiai Ahmad dawuh, “Maulana, ya sudah kita duduk bareng saja,” sembari memegang tangan Maulana Syekh ‘Ala.

Syekh ‘Ala sudah mendengar nama Kiai Ahmad Fauzi Tidjani sebelum beliau datang ke Mesir. Tersebab, banyak teman-teman IKBAL Korda Kairo yang mengaji ke Maulana Syekh Ala. Bahkan, khadim beliau merupakan senior kami di IKBAL Korda Kairo, Ust. Anwar Sadad. Sebelumnya pun, Ustadz Sadad pernah menjadi khadim di ndalem (alm) KH. Mohammad Tidjani Djauhari, MA., selama lima tahun. Di sela-sela bincangnya, Kiai Ahmad dawuh ke Syekh Ala, “Syekh ‘Ala, antum (laksana) bulan, menyinari kami dengan ilmu.” Lalu dijawab oleh Syekh Ala, “Iya, Kiai. Tapi, antum adalah mentarinya. Cahaya antum lebih terang.” Kiai Ahmad membalas, “Enggak begitu Maulana, saya bukan seperti itu.” Saya melihat bahwa ketawadluan seorang alim adalah ketawadluan tanpa tendensi apa pun. Itu jelas terlihat dari pancaran wajah Syekh ‘Ala dan Kiai Ahmad saat itu.

Saya sangat berkesan sekali, alasan kenapa Kiai Ahmad fasih berbahasa Arab. Beliau menceritakan ke Maulana Syekh ‘Ala, bahwa beliau sedari kecil tinggal di Saudi Arabia selama 10 tahun. Lingkungan keluarga beliau juga membiasakan berbahasa Arab. Setiap ada tamu yang sowan ke Abah beliau, jika menggunakan selain bahasa Arab, Kiai Ahmad kecil dijauhkan untuk tidak mendekat. Pun, Kiai Ahmad kecil selalu dibawa sowan ke masyayikh Hijaz waktu itu. Setiap ketemu Syekh, Kiai Tidjani meminta doa ke Syekh tersebut untuk mengusap kepala Kiai Ahmad kecil dengan al-Fatihah. Kiai Ahmad kecil bertemu dengan Syekh Yasin al-Fadani dan masyayikh lainnya.

Maulana Syekh ‘Ala memberi hadiah beberapa kitab karangan Maulana Syekh Abdussalam (guru beliau) ke Kiai Ahmad. Kiai Ahmad dan Syekh ‘Ala berharap agar ada kesempatan untuk bertemu kembali, baik di Al-Amien Prenduan atau di Alexandria nantinya. Maulana Syekh ‘Ala dalam doa-doa panjangnya, mendoakan Kiai Ahmad dengan penuh khidmat. Hingga tak jarang teman-teman IKBAL melihat Kiai Ahmad sempat haru dan hanyut dalam doa. Maulana Syekh Ala juga mendoakan semoga pondok, masyayikh pondok, asatidz, para santri dan alumninya selalu dijaga oleh Allah.

Di akhir sebelum beliau pulang naik bis untuk ke bandara, Kiai Ahmad dawuh ke kami, “Selama kunjungan saya ke Mesir, kunjungan ke Alexandria yang sangat berkesan.”

*Mudif: istilah teman-teman di pondok ketika dijengukin atau disambang orang tua di hari libur. ( Achmad Zainulloh Hamid, anggota IKBAL Korda Kairo Mesir 2021)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top