Fera Andriyani Djakfar
Suara denting besi itu masih terdengar di sela-sela gemuruh hujan dan suara petir. Sementara waktu menunjukan pukul tiga dini hari, saat yang terlalu dini bagi siapapun di komplek itu untuk mulai menjalankan roda aktivitas. Hal membuat Pak Munir yang sedari tadi tidak mengindahkan suara tersebut mulai menyadari bahwa ada gelagat yang tidak beres. Perlahan dia bangkit dari tempat tidurnya lalu menuju ruang tamu. Langkah-langkahnya dia tahan sepelan mungkin agar istrinya yang sedang demam tidak ikut terjaga.
Dinyalakannya lampu di ruang tamu yang perabotan dan pernak-perniknya masih tampak baru. Maklum, usaha tambak udang windu yang terbesar di beberapa kota sedang mengalami kemajuan pesat. Dengan semakin merangkak tinggi nilai tukar dolar terhadap rupiah, setinggi itu pula dia mendapat keuntungan. Sebab para importir pelanggannya tentu saja membayar dengan dolar. Pak Munir mengintip celah-celah tirai yang menutupi jendela kaca nakonya. Tampaklah pemandangan yang sangat mengerikan, mimpi buruk bagi setiap orang yang baru saja menggapai keberhasilan materi.
Di luar sana, di hadpan pagar besinya yang menjulang kokkoh setinggi dua setengah meter, tampak sekawanan pemuda berandalan sedang berusaha merusak gembok pagar dengan sebilak kapak. Mereka juga memebawa sebuah mobil pick-up yang biasa digunakan mengangkut barang. Rupanya denting kapak beradu dengan besi pagar itulah keributan yang sedari tadi dia dengar . tampak mereka sedang memapas habis ujung-ujung atas pagar yang berbentuk lancip dan tajam. Hal itu agar memudahkan mereka memanjat. Ternyata hujan deras tidak menghalangi mereka. Justru pancaran kilat yang mengantarkan suara petir memantu menerangi aksi brutal mereka, selain lampu mobil yang sinarnya tak terlalu kuat dikarenakan derunya yang agak tertaha.
“Pak…!!” sejenak Pak Munir terperanjat.
Ternyata istrinya telah berdiri tepat di belakangnya, dengan mimik khawatir dan cemas. “Ada apa, Pak?” tanya istrinya. Ada nada ketakutan di serak suaranya, bersaing dengan gemuruh hujan di luar sana.
“Bu…ada yang mau masuk rumah kita secara paksa…,” ajawab Pak Munir tanpa manatap istrinya. Matanya masih mengawasi poalh pera berandalan di luar rumahnya.
“Aduh…bagaimana ini…Pak…ayo bertindak! Pak…bangunkan Anto…!!” usul istrinya cukup bagus walaupun dibumbui kepanikan.
“Bu…masuklah ke kamar dan kunci pintu rapat-rapat. Saya akan…”
“Mau apa, Pak? Jangan nekat…sudahlah…telepon polisi saja…! Atau sekarang juga kita lari lewat pintu belakang sama-sama…” usul Bu Munir meski sebenarnya dalam keadaan demam itu dia tak mungkin dapat berlari menembus hujan. Hal itu juga telah dipikirkan Pak Munir.
“Pak…ada apa?” tanya Anto, putra mereka, yang ternyata terbangun juga. Tanpa menunggu jawaban ayahnya dia melongok ke jendela.
“Wah…gawat!! Ada yang berhasil melompati pagar…sekarang dia menghancurkan gembok dari dalam…”Anto memaparkan pengintaiannya.
Sebenarnya rumah Pak Munir dengan pagar tinggi yang berujung lancip seperti tombak itu cukup kokoh. Apalagi diperkuat dengan tiga buah gembok besar yang dipasang sekaligus. Jadi untuk masuk pagar secara paksa, siapapun jharus menghancurkan tiga gembok besar tersebut. Hal itu tentunya tidak mudah. Namun kali ini…
“Pak…hanya tinggal satu gembok lagi…” seru Anto yang juga mulai panik. Dia tentu tidak menyangka dan tidak mau liburan akhir tahunnya berisi kisah tragedi. Diraihnya pesawat telepon di ruang tamu itu . tapi tidak terdengar nada sambung sekalipun. Saluran telepon telah diputus.
“Sudahlah…begini saja. Anto, kau pergi melalui pagar belakang,lalu hubungu Pak Atmo. Usahakan cari bantuan ke tetangga-tetangga yang lain.”
“Lalu…Bapak dan Ibu bagaimana?” tanya Anto bingung. Dia tak sampai hati meninggalakan kedua orang tuanya di rumah yang akan dijarah itu. Tapi mengingat kondisi ibunya yang sedang lemah itu, semangat baru muncul kembali untukmencari bantuan. Segera ia pergi ke kamarnya untuk mengenakan jaket tebal dan meraih jas hujannya.
“Anto… hati-hati, Nak!” Pesan Bu Munir mengiringi kepergian Anto. Berbeda dengan Pak MunirYang hanya menepuk pundak puteeranya, isyarat bahwa saat itu hanya Antolah harapan satu-satunya, demi keselamatan seluruh harta dan terutama…nyawa.
Anto hanya mengangguk mantap, pernyataan yang lebih ekspresif dari kesanggupannya. Kemudian dia segera menyelinap melalui pintu belakang. Dia segera menuju kediaman Pak Atmo, sopir pribadi keluarga Pak Mmunir yang tinggal di sebuah ruamah kecil beberapa meterr jaraknya dari bagian belakang rumah keluarga Munir.
Sementara itu, gembok ke tiga telah berhasil pula dihancurkan oleh gerombolan perampok itu. Tak lama kemudian terdengar deru mobil memasuki pelataran rumah. Rupanya mobil milik gerombolan itu telah berhasil memasuki pekarangan.
Bu Munir tampak semakin pias, menahan rasa takut yang tidak terkira. Ini pengalaman pertamanya, yang dia harap menjadi pengalamn terakhir juga. Sebagai kepala keluarga Pak Munir lebih khawatir lagi. Dia ingat bahwa ia mempunyai dua tanggungan nyawa. Istrinya, serta Anto yang tadi disuruhnya mencari bantuan.
Para perampok itu semakin nekat. Kini pintu rumah yang jadi sasaran kapak mereka. Bunyoinya jauh lebih menggelegar, mencekem hatisiapa saja yang mendengarnya. Ritme ayunan kapak yang sangat tidak teratur itu semakin mengiris hati dan mengukir bayangan hantu kematian di pelupuk mata. Suara pecahan kaca pun semakin memperburuk suasana hatiyang dalam lemahnya masih mencoba menyusun harap meski tipis.
Untungnya dibalik setiap kaca jendela rumah Pak Munir terdapat palang-palang besi yang tersusun rapat. Hal itu ayng membuat berandalan itu memilih menghancurkan pintu kayu setelah beraadu dengan besidi luar pagar tadi.
“Dzikir, Bu…dzikir…” Pak Munir menenangkan istrinya sambil mendorong sebuah meja untuk menahan pintu.
Tiba-tiba ritme ayunan kapak semakin jarang, hanya satu dua ayunan lagi, kemudian sepi. Bapak dan Ibu Munir yang kini bersembunyi dengan pasrahnya di ruang tengah mengira pasti kawanan perampok iyu telah berhasil menjebol pintu sehiungga menghentikan pekerjaannya. Namun mereka juga meragukan dugaan itu karena jika benar mereka telah masuk, pastilah terdengar derit meja yang bergeser.
Seiring dengan redanya hujan, rupanya satu dua orang sudah mulai berangkat ke masjid. Jumlah itu kan semakin meningkat menjelang adzan shubuh. Hal itulah yang membuat berandalan itu menghentikan aksinya. Tanpoa tersa waktu telah menunjukan pukul empat pagi, adzan shubuh telah dekat. Pak Munir memberanikan diri mengintip dari ruang tengah. Sayup-sayup dia mendengarsuara orang menggerutu dan sesekali saling menyalahkan. Rupanya berandalan itu merasa aksinya telah gagal. Sebentar kemudian terdengar deru mobil di pekarangan, kemudian suaranya kian jauh.
Pak Munir menarik nafas lega.
“Ya Allah …apa salahku hingga Kau beri kami cobaan seperti ini?” bisiknya lirih.
“Pak…”, panggil istrinya lirih, “Bapak sudah bayar zakat mal, belum?”
“Astaghfirullah……lupa…!!!
Fera Andriyani Jakfar, alumni TMI Putri Al-Amien Prenduan. Menyelesaikan S1 di Universitas Cairo, Mesir.