Makam atau Maqam

“Hingga menjelang prosesi yasinan, tahlilan, dan tumpengan, kompleks makam keluarga Cendana itu terus dibanjiri peziarah.” Kutipan kalimat ini ditulis seorang wartawan (Seputar Indonesia), ketika memberitakan bahwa ribuan warga menghadiri peringatan tujuh hari wafatnya Pak Harto di lokasi pemakaman Astana Giribangun, Solo.

Perhatikan pula contoh kalimat yang dimuat dalam Ensiklopedia Islam (Ichtiar Baru van Hoeve, 2005). “Jumlah maqam yang dilalui seorang sufi ternyata berbeda dengan sufi lain, karena hal itu sangat berkaitan erat dengan pengalaman sufi itu sendiri.”

Saya kira, masyarakat secara umum sudah sangat familier dengan kata makam. Bahkan, kata ini sudah sering didengar, diucapkan, dan ditulis. Namun, bagaimana dengan kata maqam? Apa arti sebenarnya kata makam dan maqam?

Pada kalimat pertama, kata makam berarti kuburan. Kubur sendiri berasal dari bahasa Arab, yang berarti memendam, melupakan, memasukkan, mengebumikan. Lihat arti serupa dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia—KUBI, (J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, 1996), Kamus Besar Bahasa Indonesia—KBBI (edisi ketiga, 2005), dan Kamus Indonesia-Inggris (John M. Echols dan Hassan Syadily, 1992). Dalam kamus-kamus ini, kata makam diberi arti ‘kubur’, grave, resting place, burial plot; mengantarkan jenazah ke makam”. Kata makam juga berarti ‘tempat, tempat tinggal, dan kediaman.’ Adapun kata maqam tidak dicantumkan di dalam ketiga kamus ini.

Pada kalimat kedua, kata maqam berarti tingkatan. Di dalam Kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia), A.W. Munawwir (1984) menyebutkan, bahwa kata maqaam berasal dari kata qaa-ma, ya-quu-mu, qi-yaam, yang berarti ‘naik/meningkat, berdiri, bangkit, bangun, berangkat’. Dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, Hans Wehr (1974) mengartikan maqaam dengan ‘site, location, position, place, spot, situation, station, standing, rank, dignity.’ Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Cyril Classē (1999) memberi arti maqam dengan “tempat berdiri”, sebuah stasiun spiritual, semisal kesalehan sikap atau sebuah sikap yang muncul sebagai corak jiwa yang dominan. Adapun kata makam tidak dicantumkan pada ketiga buku ini.

Yang menarik, kenapa KUBI dan KBBI menggunakan kata makam untuk ‘makam Nabi Ibrahim’, sedangkan di dalam Ensiklopedi Islam, Classē menggunakan kata maqam untuk ‘maqam Nabi Ibrahim’. Apakah ada perbedaan antara ‘makam Nabi Ibrahim’ dan ‘maqam Nabi Ibrahim’. Kalau menggunakan pengertian yang dicontohkan pada kedua kalimat di atas, maka ‘makam Nabi Ibrahim’ seharusnya berarti ‘kuburan Nabi Ibrahim’, sedangkan ‘maqam Nabi Ibrahim’ berarti ‘tingkatan Nabi Ibrahim’. Benarkah demikian?

Perhatikan arti yang diberikan KBBI, ‘makam Nabi Ibrahim’ adalah ‘pahatan bekas telapak kaki Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah.’ Menurut Ensiklopedi Islam (1999), maqam Nabi Ibrahim diartikan sebagai ‘tempat berdiri Nabi Ibrahim’, yang ditandai dengan sebuah batu. Pada batu ini terdapat bekas telapak kaki Nabi Ibrahim yang digunakannya untuk memanjat ketika membangun Ka’bah bersama dengan Ismail. Untuk menjaga dari kerusakan, batu itu diletakkan dalam rumah kaca di samping Multazam, dekat hajar aswad. Jadi, arti ‘makam Nabi Ibrahim’ dan ‘maqam Ibrahim’ bukan ‘kuburan’ dan bukan pula ‘tingkatan’, tapi ‘bekas tempat berdiri’

Sementara itu, KBBI menggunakan kata makam, bukan maqam untuk istilah tasawuf. Padahal, di dalam tasawuf, istilah makam tidak lazim digunakan—bahkan tidak pas dan tidak cocok, karena bisa mengaburkan maknanya. Untuk itulah, Harun Nasution, di dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam (1973), memaparkan, bahwa ‘Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasion-stasion, yang disebut maqamat dalam istilah Arab, atau stages dan stations dalam istilah Inggris.’
Tampaknya, saya kira, karena itu pula, tim penulis Ensiklopedia Islam merasa perlu merevisi, dengan menghilangkan entri makam yang tercantum pada terbitan 2001, cetakan ke-9, jilid 1, dan memasukkan entri maqam pada edisi baru (Ichtiar Baru van Hoeve, 2005). Pada jilid 4, maqam adalah “tingkatan suasana kerohanian yang ditunjukkan oleh seorang sufi berupa pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.” Misalnya, maqam zuhud, tobat, dan sabar; bukan makam zuhud. Kiranya lebih pas!

Idris Thaha
Alumni TMI tahun 1987, saat ini menjadi Dosen/Peneliti PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

* Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik/kolom Bahasa di Majalan Tempo.

Scroll to Top