Oleh : KH. Muhammad Idris Jauhari
Manusia sebagai makhluk sosial, atas dasar potensi-potensi individual yang dimilikinya, akan mudah terjerumus dalam kehinaan, kesengsaraan, kemiskinan, dan keterpurukan manakala tidak bisa berpegang teguh pada hablun minal-Lâh dan hablun minan-nâs. Ini mengandaikan berlakunya peran terpadu manusia individu, baik sebagai ‘abdullâh, maupun dan sekaligus sebagai khalifatullâh. Ketika meyakini bahwa diri kita adalah hamba Allah, kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan fungsi-fungsi penghambaan tersebut. Fungsi ini dikenal dengan al-‘ibâdah atau al-‘ubûdiyyah. Sebaliknya, ketika menyadari diri kita sebagai khalifah di atas bumi, maka kita akan menjalankan tugas-tugas kekhalifahan itu atas dasar petunjuk Allah untuk kemaslahatan manusia dan alam semesta.
Berbicara tentang kemaslahatan manusia dan alam semesta, seorang mukmin yang baik akan senantiasa berusaha menjadi contoh, rahmat, sumber kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi sesama manusia. Ketika manusia melakukan suatu perbuatan yang tercela terhadap manusia lain, berarti dia sudah tidak memfungsikan dirinya sebagai khalifah. Bahkan dia akan tertimpa kehinaan, seperti yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an,
“Mereka diliputi kehinaan (dzillah) di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia….” (QS Âli ‘Imrân [3]: 112).
Dzillah akan menimpa seseorang di manapun dia berada kalau dia terlepas dari tali Allah dan tali manusia itu. Untuk itulah, kita harus senantiasa berusaha agar pikiran, perasaan, kemauan, ucapan dan perbuatan kita senantiasa berada di jalur Allah, karena Dialah yang menciptakan kita dan Maha Tahu tentang diri kita. Kalau kita tidak berpedoman kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Allah, maka kita pasti akan sesat. Kalau kebetulan menjadi pemimpin, guru, pengurus sebuah komunitas manusia, maka kita tidak lagi sekedar sesat, tapi juga bisa menyesatkan orang lain. Inilah bahayanya kalau manusia sudah terlepas dari hablun minal-Lâh. Sebagai orang yang sedang belajar, atau yang terjun di masyarakat dan menjadi salah satu anggota masyarakat, kita harus senantiasa belajar tentang hablun minal-Lâh itu. Tatkala akan melakukan suatu kegiatan apapun, pertanyaan yang muncul pertama kali dalam diri kita harus mengacu kepada ketentuan dari Allah, dan itu semuanya adalah inti dari keberagamaan. Agama adalah wahyu Allah. Kalau datang dari manusia, maka itu menjadi budaya atau kebudayaan—tsaqâfah, madaniyyah, hadhârah dan sebagainya.
Gabungan wahyu-wahyu Allah, baik berupa Al-Qur’an ataupun Al-Hadits dari Rasulullah—karena Rasulullah SAW tidak mengatakan sesuatu kecuali merupakan wahyu dari Allah (wa mâ yanthiqu ‘anil-hawâ; in huwa illâ wahyun yûhâ)—itulah yang harus menjadi pedoman kita. Jadi, ketika kita akan melakukan suatu pekerjaan apapun atau akan mengatakan suatu perkataan apapun, hal pertama yang harus muncul dalam diri kita adalah pertanyaan, “Apakah perkataan dan perbuatan saya ini sesuai dengan hukum-hukum Allah? Sesuai dengan wahyu yang diberikan Allah kepada Muhammad lewat Al-Qur’an atau lewat hadits-hadits?” Ini semuanya mencerminkan bagaimana kita menerapkan Al-Qur’an di atas bumi ini.
Jadi, pertimbangan pertama yang harus senantiasa menjadi ikatan kita adalah jangan sampai kita melakukan sesuatu yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Ketentuan-ketentuan Allah itu ada yang berupa hukum-hukum dan ada yang berupa sunnah-sunnah. Keduanya harus kita pegang bersama-sama agar kita tidak tertimpa keterpurukan, kehinaan, kebodohan, kemiskinan dan lain sebagainya. Kalau hati dan pikiran kita sudah disetir oleh perasaan seperti ini, insya Allah, kita akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji karena kita senantiasa menyadari siapa diri kita ini.
Lebih penting dari segalanya, setelah kita menyadari ketentuan-ketentuan Allah itu, kita perlu menanamkan keyakinan bahwa kita amat membutuhkan rahmat, hidâyah, taufîq, ma‘ûnah, ‘inâyah dan barakah dari Allah yang berpuncak pada ridha-Nya. Allah SWT berfirman,
“Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa; yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya); dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya; tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS Al-Layl [92]: 17-20).
Inilah tujuan kita —mengharap ridha Allah. Allah pasti meridhai diri kita manakala kita tetap berpegang pada hukum dan sunnah Allah SWT, serta konsekuen dan patuh pada Rasulullah SAW.
Mari kita merenung: adakah di antara perbuatan, perkataan, pikiran, perasaan, dan kehendak-kehendak kita yang menyimpang dari apa yang ditentukan oleh Allah? Kalau hari ini kita telah melakukan penyimpangan, mari kita berjanji dalam diri kita agar hari esok kita jauh lebih baik dari pada hari ini, sehingga secara perlahan tapi pasti, dari hari ke hari, kita berproses untuk menjadi hamba-hamba Allah yang diridhai. Inilah inti dari firman Allah, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.” (QS Al-Fajr [89]: 27-28).
Dan kalau sudah dalam keadaan ridha dan diridhai, maka: “…masuklah engkau, wahai jiwa yang tenang, kepada kelompok hamba-hamba-Ku; dan masuklah kamu ke dalam surga-Ku.” (QS Al-Fajr [89]: 29-30)
Inilah inti dari segalanya. Mudah-mudahan Allah memberikan kita kemampuan untuk menjadi Nafs Muthmainnah.
Sumber: KH. Muhammad Idris Jauhari, Mutiara Hikmah, Prenduan: Mutiara Press, 2012.