Belajar Ridha dan Sabar dari KH. Muhammad Tidjani Djauhari, M.A.

Ridha dan sabar adalah dua maqam atau kedudukan yang sangat tinggi. Ilmu yang begitu dalam, pengalaman hidup yang luas dan hati yang selalu mengingat Allah SWT kunci mencapai dua kedudukan yang tinggi tersebut.

Ridha dan sabar adalah hasil dari proses belajar dan mengalami berbagai permasalahan dan ujian dalam kehidupan.

Tidak hanya ujian dalam bentuk kesusahan tapi juga kenikmatan. Apapun ujiannya ia ridha dengan ketetapanNya. Maka sebesar apapun ujiannya ia selalu sabar karena ia telah ridha dengan Tuhannya.

Selama nyantri, Kyai Tidjani adalah panutan dalam mencapai kedua maqam tersebut.

Ilmu beliau dan akhlak beliau sungguh mencerminkan kedalaman ilmu dan dan pengalaman hidup yang sangat luas.

Alhamdulillah, selama nyantri di Al-Amien, mendapatkan kesempatan selama 2 tahun untuk belajar tafsir dari beliau.

Masih ingat, setiap kata bahasa arab yang tak difahami oleh santri, beliau datangkan 2 atau 3 atau 4 kata bahkan lebih dari 4 kata yang memiliki arti berdekatan.

Setiap kata, beliau letakkan dalam kalimat hingga jelas setiap kata memiliki penggunaan yang berbeda-beda.

Kemudian beliau memaparkan tafsir mulai dari asbabun nuzul, nama-nama lain dari surah tersebut, makkiyah atau madaniyah, hukum-hukum yang terkandung, perbedaan ulama dalam menafsirkan dan tak lupa bagaimana mengamalkannya dalam kehidupan.

Bila beliau berhalangan hadir untuk mengajar, ustadz senior akan datang menggantikan. Sungguh akan nampak jelas perbedaan kedalaman ilmu antra beliau dengan ustadz pengganti.

Selain belajar tafsir, saya juga banyak kali mendapatkan kesempatan bagaimana mengartikan sebuah kemenangan atau kesuksesan.

Hal itu saya dapati, saat menghadap beliau untuk menyampaikan laporan selama menjadi utusan pondok dalam berbagai perlombaan baik di dalam maupun di luar pondok.

Yang selalu menjadi pesan beliau “Hadza min fadhli rabbi liyabluwani aasykur am akfur” Semuanya karena karunia Allah untuk menguji kita, apakah kita mampu bersyukur atau tidak.

Yang menarik adalah penjelasan beliau yang memahami firman Allah di atas untuk selalu mengembalikan semuanya kepada Allah SWT. Bukan karena pondok, karena kyai apalagi karena diri sendiri.

Semuanya karena karunia Allah, dengan itu kita selalu belajar, tidak pernah puas diri dan selalu tawadhu’. Semuanya karena Allah, Allah dan Allah.

Begitu mulia pandangan beliau, selalu memposisikan diri seorang hamba kepada Sang Khaliq apapun posisi kita dan kesuksesan apapun yang kita raih dan seterusnya. Apalagi hanya kemenangan-kemenangan dalam sebuah perlombaan.

Kemenangan sejati adalah kemenangan menaklukkan keangkuhan diri untuk berbanga dan merasa lebih dari yang lain.

Hanya manusia angkuh yang selalu berbangga dengan dirinya. Hanya kyai jadi-jadian yang merasa hebat dengan statusnya. Dan hanya santri gadungan yang merasa paling alim karena ilmunya.

Semuanya atas karunia dan rahmat Allah, maka bersyukurlah, teruslah belajar, teruslah kembangkan diri karena syukur juga memiliki arti lebih baik lagi dalam beribadah, belajar dan berlatih. Hingga kita mampu melihat diri sendiri penuh dengan kekurangan, dosa bahkan ketidak tahuan akan banyak hal.

Sungguh Kyai Tidjani adalah sosok yang penuh dengan ketawadhuan. Ulama-ulama di zamanya telah memberi pengakuan akan keluasan ilmu beliau

Lebih dari itu, akhlak beliau telah membuat beliau bak cahaya yang selalu menerangi. Boleh kita bertanya tentang beliau kepada kyai-kyai sepuh yang ada saat ini. Kepada Rais Aam NU saat ini Kyai Ma’ruf Amin atau Rais Aam NU sebelumnya Kyai Mushtafa Bisri.

Dan saya sebagai santri Kyai Tidjani, bila ditanya tentang Kyai Tidjani.

“Kesabaran yang begitu tinggi karena beliau telah ridha dengan Allah dan segala ketetapanNya”

Maka doa untukmu guru, semoga Allah SWT ridha denganmu.

Sangat ingat dan melekat saat Kyai Abbasi Faadhil wafat dan juga kyai-kyai lainnya mendahuluimu, engkau wahai guru mengimami shalat jenazah. Sebelum shalat engkau menyampaikan surah Al-Fajr sebagai pengingat kepada seluruh hadirin.

Tak lama bila engkau mengimami shalat fardhu dengan tangis mengharap ridha Allah SWT engkau baca surah Al-Fajr di akhir surah pecahlah tangismu “irjii’ ilaa rabbiki raadhiayatan mardhiyah. Fadkhulii fii ibaadi. Wadkhulii jannatii”.

Tangis untuk para kyai pondok yang mendahuluimu. Doa untuk mereka dan juga untukmu bahkan untuk santri-santrimu semoga tergolong hamba Allah yang Ridha dengan Allah dan Allah pun ridha.

Muwafik Maulana
Alumni TMI Al-Amien Prenduan Tahun 2006 asal Bangkalan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top